LAZISNU

Memandang NU dari Jauh: sebuah Memoar

Saya dahulu adalah aktifis NU. Sejak muda, bahkan remaja. Karier saya dimulai dari struktur yang paling bawah. Sebab saya bukan Gus, atau orang yang berada dalam the sacred teritory NU. Sehingga posisi itu secar automatic, akan mem-blow up posisi saya dalam level yang tinggi. Saya juga tidak mempunyai orang dalam di NU, sehingga mampu membantu saya untuk mobilisasi vertikal ke arah karier organisasi yang baik.

Ketika kecil, saya melihat kakak saya begitu heroik di GP Anshor. Padahal usia dia masih cukup muda. Mungkin di usia SMA dia jadi ketua panitia LKD GP. Anshor se Kecamatan Kroya. Waktu itu, penceramahnya dan instrukturnya di antaranya, Hasyim As’ary, Sujud Murtadlo, Syamsul Hidayat hammaf, Kyai Tohirin, dan tentu Mbah Kyai Su’da Adkiya.

Sekarang kakak saya jadi Ketua Tanfidz NU Cilacap dan Mbah Su’ada jadi Rois Syuriahnya. Itu adalah perpaduan yang pas, antara murid dan guru. Ndilalah, mbah Syu’ada adlh alumni Darul Hikam, Bendho Pare Kediri. Sama persis dengan bapaknya kakak saya itu, Mbah Nasri, yang juga alumni Darul Hikam. Di Gentasari ada juga alumni Ponpes, yang kata teman saya di Kediri, adalah ponpes pencetak para wali. Diantara alumni Darul Hikam itu adalah almaghfurlah dua guru saya, ayah dan paman dari Mundir afif, yaitu almaghfurlah Kyai Khudlori dan KH. Chotib.

Jadi duo tanfidz-syuriah NU Cilacap, bisa dikatakan tunggal guru.

Nah, semangat kakak saya itu, membuat saya jatuh cinta ke NU. Di usia SMP, saya sudah ikut LKD GP. Anshor, dibawah bentakan dan hardikan Sujud Murtadlo, Hasyim Asy’ari, dll. Khusus Aswaja, saya mengikuti tuntunan Kyai Su’ada. Jadi, saya betul-betul murid para alumni Darul Hikam Bendho Pare Kediri.

Sebagai peserta LKD, saya adalah peserta paling muda mungkin. Dengan peci berwarna merah, saya sangat aktif dalam forum-forum diskusi. Pendek kata, saya memang NU dari lahir.

Karier ke NU an saya dimulai dari anak ranting. Kemudian ke Ranting, dan akhirnya ke Ancab IPNU bersama Woro, Anshor, dll.

Saya dan Woro, Budi, dll, cenderung tidak cocok dengan gaya Ansor yang budayawan itu, dalam memimpin IPNU. Namun kami tidak mufarroqo secara kelembagaan, namun secara kegiatan, kami punya cara sendiri.

Lahirlah beberapa kegiatan pengkaderan yg kami berlima lakukan, sehingga disebut forum pendawa lima. Saya, Woro, Siswanto, Budi, Dolikhun.

Banyak kader NU lahir dari pelatihan demi pelatihan yang kami selenggarakan. Yang fenomenal adalah kegiatan Makesta di Tegal Anyar, suatu daerah yang relatif tersembunyi waktu itu, berhasil kami eksplorasi, dan melibatkan lebih dari 250 kader NU di dalamnya. Dari Dayeuhluhur hingga Binangun. Ini sungguh capaian yang luar biasa. Ada di antara kami saat itu, Hasyim Asy’ari, Ketua KPU yang sekarang dan juga Nyai Siti Rosida, anggota DPRD Jateng. Ada juga Gus Agus Mukti, dan ada Kyai Ahmad Muthasil, yang pernah menjadi murid tokoh MD, DR. Janan Asifuddin MA. Kemudian mondok di Termas.

Untunglah team Pendawa lima berhasil masuk ke Tegal Anyar, sehingga banyak kader NU terbantu dan terjaga ke NU-annya.

Selanjutnya, cerita IPNU atau NU Cilacap, tidak terdengar oleh saya. Saya merantau ke Kulonprogo, dan aktif di IPNU Cabang, sampai GP Ansor dan PKB Kulonprogo. Kawan-kawan saya di Ansor dan PKB Kulonprogo banyak yang menjadi ” orang”. Kyai Anwar Hamid, yang biasa boncengan motor yamaha dengan saya, untuk nganter surat undangan, menjadi Wakil Bupati. Noor Harish, Ketua GP Ansor, jadi Ketua DPRD. Banyak juga yang jadi anggota Dewan, pejabat daerah, dsb. saya tetap orang biasa.

Nah, saya sekarang sudah tidak aktif lagi di NU. Saya sekarang hanya ngurusi masjid kecil di sudut kota Cilacap.

Saya dahulu melihat NU dari dalam. Saya adalah observer NU sejati. Saya bagian dari denyut nadi ke-NU-an.

Sekarang saya melihat NU dari luar, bahkan dari tempat yang tersembunyi, dimana banyak tokoh NU tidak tahu, bahwa mereka sedang dilihat, tingkah polahnya, oleh orang NU yang sudah menepi. Menyepi. Dan akan terus menepi. Serta terus akan melihat NU dari tempat, serta perspektif yang berbeda.

Luar biasa NU. Tetapi banyak kepentingan yang berkelindan. Banyak juga nilai-nilai NU yang diperselingkuhkan dengan politik instan. Ada juga kader-kader NU rekrutan, yang mengaku sebagai bongkotan. Mereka masuk NU dengan tanpa sadar, menghancurkan.

Tapi itulah dinamika. Bagi saya yang penting adalah, menyalakan harapan pada setiap kepengurusan baru, untuk kembali ke jatidiri organisasi. Sebab hanya itu yang bisa menjaga moral organisasi.

Konfercab kemarin adalah artikulasi dari sebuah dinamika. Walo saya melihat dari jauh, tetapi saya mengerti bahwa NU tak bisa melepaskan diri dari konteks politik. Pun begitu, proses dan endingnya sangat elegan. Konfercab NU bisa memisahkan dari politik yang bisa merusak kedalaman NU dalam menjaga moral organisasi. Terima kasih, NU-ku sayang.*


Pojok Penjara
220424
Kader NU pinggiran
Toufik I.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *